Sebagai guru, saya sering tersenyum getir melihat satu fakta
yang terus berulang di kelas:
anak bisa lupa rumus yang baru saja diajarkan pagi ini, tapi
bisa mengingat dengan sangat rinci cara menyelesaikan misi game yang ia mainkan
semalam.
Kadang saya bertanya dalam hati, “Sebenarnya mereka ini
sulit menghafal… atau kita yang kalah menarik dari sebuah game?”
Semakin
lama mengajar, saya menyadari bahwa ini bukan soal malas belajar semata. Ini
adalah soal cara otak anak bekerja, cara emosi terlibat, dan bagaimana pengalaman
belajar itu dirasakan. Dan semua itu justru terjadi secara sempurna di dunia
game.
Berikut
beberapa alasan paling nyata yang saya lihat setiap hari di sekolah.
1. Otak Anak Mengingat yang Menghadirkan Emosi, Bukan
Sekadar Informasi. Dalam pembelajaran di kelas, sering kali yang kita berikan
adalah informasi. Sementara dalam game, yang anak dapatkan adalah pengalaman
emosional: tegang, senang, penasaran, marah, bangga, kecewa, lalu bangkit lagi.
Di kelas, anak menghafal karena disuruh.
Di game, anak menghafal karena butuh untuk menang.
bukan berarti pelajaran kita tidak penting, tapi sering kali
belum cukup “menghidupkan rasa”.
2. Game Mengaktifkan Sistem Hadiah Otak, Sekolah Sering
Mengaktifkan Sistem Takut
Dalam game, setiap usaha anak langsung diberi respons: naik
level, dapat poin, buka fitur baru, dapat ranking.
Menurut B.F. Skinner, perilaku yang diberi penguatan
(reward) akan cenderung diulang. Game mempraktikkan teori ini dengan sangat
konsisten.
Sementara di sekolah, yang sering muncul justru sebaliknya:
• salah → dimarahi
• lupa → dianggap malas
• rendah nilai → dianggap tidak mampu
Otak anak pun lebih sering bekerja dalam mode takut, bukan
mode tumbuh.
Padahal para pakar seperti Carol Dweck dengan teori growth
mindset menegaskan bahwa anak akan berkembang jauh lebih baik ketika merasa
aman untuk salah dan diberi kesempatan memperbaiki diri.
3. Game Memberi Tantangan Bertahap, Sekolah Sering Melompat
Terlalu Jauh
Dalam game, tidak ada musuh level 10 yang langsung dihadapi
pemain pemula. Semua bertahap.
Pelan, naik, gagal, ulang, lalu naik lagi.
Di kelas, sering kali kita tanpa sadar menempatkan anak:
• langsung pada materi yang berat
• soal yang sulit tanpa pemanasan
• tuntutan tinggi tanpa kesiapan mental
Akibatnya bukan tertantang, tapi kewalahan.
4. Dalam Game Anak Merasa Memiliki Kendali, di Sekolah Anak
Sering Hanya Mengikuti
Di game, anak bebas memilih:
• mau main
kapan
• mau ulang
misi berapa kali
• mau pakai
strategi apa
Di sekolah, anak sering hanya menjadi penerima:
duduk,
dengar, catat, kerjakan, setor, selesai.
Menurut
Maria Montessori, rasa memiliki kendali (sense of control) adalah kunci utama
tumbuhnya motivasi belajar alami. Ketika anak merasa pembelajaran itu miliknya,
bukan paksaan orang dewasa, maka daya ingat dan kesadarannya ikut tumbuh.
5. Game
Mengajarkan Melalui Pengalaman, Sekolah Masih Terjebak Ceramah
Anak-anak
kita hari ini adalah pembelajar visual, aktif, dan kinestetik.
Game
mengajak mereka:
• mencoba
• gagal
•
memperbaiki
• mencoba
lagi
Sedangkan
di sekolah, sering kali anak belajar hanya lewat:mendengar, mencatat, menghafal
John Dewey, tokoh pendidikan progresif, menegaskan bahwa
manusia belajar paling kuat melalui learning by doing, bukan sekadar mendengar
penjelasan.
Meski anak-anak hari ini lebih mudah mengingat game daripada
pelajaran, itu bukan tanda guru dan sekolah gagal. Kita hanya sedang hidup di
zaman dengan tantangan yang jauh berbeda. Di tengah keterbatasan yang ada, guru
tetap berjuang menghadirkan pembelajaran terbaik.
Di tengah semua itu, guru tetap berusaha menghadirkan
pembelajaran terbaik yang mereka bisa.
#tips #tipsparenting #gameanak #murid
Diambil dari tulisan atiekgurusd









